Hello again! :)
Nah, pada kesempatan kali ini, mungkin saya mau sedikit berbagi kebahagiaan.
Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah buku yang ditulis oleh Eric Weiner, seorang jurnalis senior yang telah melakukan riset mengenai kebahagiaan di beberapa negara. Judul bukunya The Geography of Bliss. Uniknya, dari 10 negara yang dia jelajahi, tidak ada dua negara dengan faktor pembuat kebahagiaan yang sama. Setiap negara memiliki ciri masing-masing, memiliki rumus pembuat bahagianya sendiri.
Waktu baca buku ini, saya jadi inget Insan Cendekia. Karena sekolah saya tercinta ini adalah sekolah berasrama, saya dan teman-teman tidak bisa bebas keluar-masuk kampus. Maka, ketika mereka mendefinisikan bahagia sebagai berjalan-jalan di pusat-pusat perbelanjaan besar di kota-kota, atau memiliki gadget canggih agar tetap exist, kami di asrama memiliki cara sendiri untuk memaknai bahagia. Kami menciptakan Bahagia di Insan Cendekia.
Bahagia, bagi kami adalah ketika menjalani apel pagi bersama. Saling sapa, saling menggoda ketika ada salah satu dari kami yang berulang tahun, sambil sesekali mencomot makanan dari kotak bekal yang baru saja diambil dari kantin karena telat sarapan. Atau ketika musim ujian tiba, semua anak masih konsentrasi belajar. Ngebut. Berkutat dengan buku catatan di tangan, beramai-ramai menghapal rumus, bagai merapal mantra. Lalu berdoa bersama, dan beriringan berjalan menuju kampus tercinta. Bahagia ada ketika mengucapkan salam di depan pintu masuk sekolah. Tersenyum, kemudian berlarian menuju kelas jam pertama, berlomba mendapatkan tempat terbaik di kelas (biasanya di pojokan, biar bisa nyender hehe)
Bahagia ada di perpustakaan sekolah kami yang luas, nyaman, dan berlimpah koleksi buku. Novel, ensiklopedia, buku-buku sains, buku-buku sejarah, sastra, kamus berbagai bahasa, komputer-komputer siap sedia, meja-meja besar tempat belajar dan berdiskusi, serta sofa-sofa besar yang empuk dan sangat nyaman (untuk ditiduri :p ). Atau di Ruang OSIS, tempat kami berdiskusi santai membicarakan berbagai program kerja, pembuatan proposal, pendanaan acara, konsep acara, dan sebagainya.
Bahagia, bagi kami adalah ketika berada di Masjid. Beristirahat sejenak setelah belajar setengah hari. Sembari mengambil air wudhu, celotehan dan gosip dari masing-masing kelas pun terlontar. Canda dan tawa kembali menggema. Kegiatan Sholat Berjama'ah dan taushiyah harian mengisi jiwa. Yang seru adalah, berlomba-lomba dengan ratusan siswa lainnya untuk lebih dulu sampai di kantin, agar mendapat tempat antrian pertama (soalnya kalau ngantri di awal, biasanya, dapet lauk lebih banyak ;)).. Namun ada juga yang tetap berdiam di masjid, melanjutkan dzikir dan sholat sunnah rawatib. Lalu membaca selembar atau dua lembar AlQur'an, baru kemudian menuju kantin.. (dengan perut lapar hehe)
Bahagia juga ada di sudut-sudut kantin. Saling bertukar sapa ketika mengambil air minum, atau ketika mengantre ambil makan. Walaupun menunya sering tidak sesuai selera, kami menikmatinya bersama. Bilang masakan kantin tidak enak, kurang ini, kurang itu.. Tapi kami tetap mengunyahnya, karena kami tahu tanpa mas-mas dan ibu kantin, tidak akan kami makan tiga kali sehari. Sambil makan, kami berceloteh tentang apapun atau mengamati kelakuan anak laki-laki yang porsi makannya.. (ckck). Kami bahagia, bahkan ketika makan di kantin yang tidak sesuai selera.
Bahagia juga ada di lapangan-lapangan bola kami. Ketika sore hari sepulang sekolah, pertandingan olahraga antar kelas digelar. Bersorak menyemangati kelas masing-masing, tertawa bersama, merasakan menang dan kalah bersama. Namun bukan gelar yang kami cari, melainkan kebersamaan satu kelas dalam berpartisipasi.
Bahagia juga ada di Kopinma, ketika sekolah usai dan kami menikmati jajanan ringan.. Kriuk Sepuluh-Ribu-Tiga menjadi andalan. Patungan ketika membeli, lalu dimakan bersama beramai-ramai. Tapi yang paling membahagiakan disini adalah... traktiran (tetep).
Bahagia, bagi kami adalah ketika bersama-sama duduk di lobby asrama, merubungi televisi 14 inchi yang layarnya bersemut, dan warnanya tidak sempurna. Menonton acara-acara televisi yang kadang aneh (dan kami tertawakan bersama), berceloteh mengomentari, riuh berseru ketika ada adegan yang seru. Inilah kami. Bahagia ketika bersama, walaupun dengan televisi seadanya.
Bahagia ada ketika pulang dari masjid selepas Isya'.. berjalan beriringan, selangkah-demi-selangkah, menikmati bintang.. menikmati semilir angin.. menikmati genggaman erat sahabat.. sambil berbincang, ringan, mengenai dunia, mimpi-mimpi, masa depan..
Begitu banyak bahagia. Apalagi di Insan Cendekia. Walau tanpa gadget, tanpa sarana Televisi, tanpa pusat-pusat perbelanjaan, tanpa gedung-gedung tinggi menjulang..
Karena Bahagia itu ada di dalam diri. Ia kita ciptakan sendiri. Dengan hati yang lapang, dengan senyum tulus ikhlas, Bahagia akan ada dimanapun kita berada.
Nah, pada kesempatan kali ini, mungkin saya mau sedikit berbagi kebahagiaan.
Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah buku yang ditulis oleh Eric Weiner, seorang jurnalis senior yang telah melakukan riset mengenai kebahagiaan di beberapa negara. Judul bukunya The Geography of Bliss. Uniknya, dari 10 negara yang dia jelajahi, tidak ada dua negara dengan faktor pembuat kebahagiaan yang sama. Setiap negara memiliki ciri masing-masing, memiliki rumus pembuat bahagianya sendiri.
Waktu baca buku ini, saya jadi inget Insan Cendekia. Karena sekolah saya tercinta ini adalah sekolah berasrama, saya dan teman-teman tidak bisa bebas keluar-masuk kampus. Maka, ketika mereka mendefinisikan bahagia sebagai berjalan-jalan di pusat-pusat perbelanjaan besar di kota-kota, atau memiliki gadget canggih agar tetap exist, kami di asrama memiliki cara sendiri untuk memaknai bahagia. Kami menciptakan Bahagia di Insan Cendekia.
Bahagia, bagi kami adalah ketika menjalani apel pagi bersama. Saling sapa, saling menggoda ketika ada salah satu dari kami yang berulang tahun, sambil sesekali mencomot makanan dari kotak bekal yang baru saja diambil dari kantin karena telat sarapan. Atau ketika musim ujian tiba, semua anak masih konsentrasi belajar. Ngebut. Berkutat dengan buku catatan di tangan, beramai-ramai menghapal rumus, bagai merapal mantra. Lalu berdoa bersama, dan beriringan berjalan menuju kampus tercinta. Bahagia ada ketika mengucapkan salam di depan pintu masuk sekolah. Tersenyum, kemudian berlarian menuju kelas jam pertama, berlomba mendapatkan tempat terbaik di kelas (biasanya di pojokan, biar bisa nyender hehe)
Bahagia ada di perpustakaan sekolah kami yang luas, nyaman, dan berlimpah koleksi buku. Novel, ensiklopedia, buku-buku sains, buku-buku sejarah, sastra, kamus berbagai bahasa, komputer-komputer siap sedia, meja-meja besar tempat belajar dan berdiskusi, serta sofa-sofa besar yang empuk dan sangat nyaman (untuk ditiduri :p ). Atau di Ruang OSIS, tempat kami berdiskusi santai membicarakan berbagai program kerja, pembuatan proposal, pendanaan acara, konsep acara, dan sebagainya.
Bahagia, bagi kami adalah ketika berada di Masjid. Beristirahat sejenak setelah belajar setengah hari. Sembari mengambil air wudhu, celotehan dan gosip dari masing-masing kelas pun terlontar. Canda dan tawa kembali menggema. Kegiatan Sholat Berjama'ah dan taushiyah harian mengisi jiwa. Yang seru adalah, berlomba-lomba dengan ratusan siswa lainnya untuk lebih dulu sampai di kantin, agar mendapat tempat antrian pertama (soalnya kalau ngantri di awal, biasanya, dapet lauk lebih banyak ;)).. Namun ada juga yang tetap berdiam di masjid, melanjutkan dzikir dan sholat sunnah rawatib. Lalu membaca selembar atau dua lembar AlQur'an, baru kemudian menuju kantin.. (dengan perut lapar hehe)
Bahagia juga ada di sudut-sudut kantin. Saling bertukar sapa ketika mengambil air minum, atau ketika mengantre ambil makan. Walaupun menunya sering tidak sesuai selera, kami menikmatinya bersama. Bilang masakan kantin tidak enak, kurang ini, kurang itu.. Tapi kami tetap mengunyahnya, karena kami tahu tanpa mas-mas dan ibu kantin, tidak akan kami makan tiga kali sehari. Sambil makan, kami berceloteh tentang apapun atau mengamati kelakuan anak laki-laki yang porsi makannya.. (ckck). Kami bahagia, bahkan ketika makan di kantin yang tidak sesuai selera.
Bahagia juga ada di lapangan-lapangan bola kami. Ketika sore hari sepulang sekolah, pertandingan olahraga antar kelas digelar. Bersorak menyemangati kelas masing-masing, tertawa bersama, merasakan menang dan kalah bersama. Namun bukan gelar yang kami cari, melainkan kebersamaan satu kelas dalam berpartisipasi.
Bahagia juga ada di Kopinma, ketika sekolah usai dan kami menikmati jajanan ringan.. Kriuk Sepuluh-Ribu-Tiga menjadi andalan. Patungan ketika membeli, lalu dimakan bersama beramai-ramai. Tapi yang paling membahagiakan disini adalah... traktiran (tetep).
Bahagia, bagi kami adalah ketika bersama-sama duduk di lobby asrama, merubungi televisi 14 inchi yang layarnya bersemut, dan warnanya tidak sempurna. Menonton acara-acara televisi yang kadang aneh (dan kami tertawakan bersama), berceloteh mengomentari, riuh berseru ketika ada adegan yang seru. Inilah kami. Bahagia ketika bersama, walaupun dengan televisi seadanya.
Bahagia ada ketika pulang dari masjid selepas Isya'.. berjalan beriringan, selangkah-demi-selangkah, menikmati bintang.. menikmati semilir angin.. menikmati genggaman erat sahabat.. sambil berbincang, ringan, mengenai dunia, mimpi-mimpi, masa depan..
Begitu banyak bahagia. Apalagi di Insan Cendekia. Walau tanpa gadget, tanpa sarana Televisi, tanpa pusat-pusat perbelanjaan, tanpa gedung-gedung tinggi menjulang..
Karena Bahagia itu ada di dalam diri. Ia kita ciptakan sendiri. Dengan hati yang lapang, dengan senyum tulus ikhlas, Bahagia akan ada dimanapun kita berada.
Ditulis di Bandung,
dengan penuh rindu pada kampus Insan Cendekia,
yang telah banyak mengajarkan bahwa Bahagia itu Sederhana.. :')